Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang semakin membuat seseorang mengenal Rabbnya.
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bukan dicari untuk membanggakan diri dan sombong. Sehingga ketika orang di bawahnya menyampaikan suatu ilmu, ia pun menerima jika itu adalah kebenaran.
Ilmu yang bermanfaat membuat seseorang tidak gila dunia, tidak mencari popularitas dan tidak ingin dirinya tenar.
Ilmu yang bermanfaat tidak menjadikan seseorang sombong di hadapan yang lain dan tidak sampai membodoh-bodohi yang lain. Jika ada yang menyelisihi ajaran Rasul, maka ia mengkritiknya karena Allah, bukan marah karena selain Allah atau bukan karena ingin meninggikan derajatnya.
Ilmu yang bermanfaat membuat seseorang suuzhon pada dirinya sendiri (artinya: merasa dirinya penuh kekurangan) dan husnuzhon (berprasangka baik) pada orang-orang yang berilmu sebelumnya (para salaf). Ia selalu berprasangka bahwa yang lebih salaf darinya lebih utama.
Tidak sedikit dari kita yang menuntut ilmu namun kadang tidak bermanfaat bagi si pemiliknya. Padahal ilmu yang disebut ilmu adalah jika bermanfaat dan bukan ilmu yang sekedar dihafalkan. Yang dimaksud dengan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu syar’i atau ilmu agama yang diamalkan oleh si pemiliknya.
Imam Syafi’i memiliki nasehat berharga di mana beliau berkata,
العلم ما نفع، ليس العلم ما حفظ
“Ilmu adalah yang bermanfaat dan bukan hanya dihafalkan” (Siyar A’lamin Nubala, 10: 89).
Kita saat ini telah hidup di zaman yang lebih banyak orator daripada alim yang banyak ilmu.
قال ابن مسعود: إنكم في زمان كثير علماؤه قليل خطباؤه، وسيأتي بعدكم زمان قليل علماؤه كثير خطباؤه.
Ibnu Mas’ud berkata, “Kalian hidup di zaman yang terdapat banyak ulama dan sedikit yang pintar berkoar-koar. Dan nanti setelah kalian akan ditemui zaman yang sedikit ulama namun lebih banyak orang yang pintar berkoar-koar.”
فمن كثر علمه وقل قوله فهو الممدوح، ومن كان بالعكس فهو مذموم.
Siapa yang lebih banyak ilmunya dan sedikit bicaranya, maka itulah yang terpuji. Dan jika sebaliknya, maka dialah yang tercela.
قال الأوزاعي: العلم ما جاء به أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم، فما كان غير ذلك فليس بعلم.
Al Auza’i berkata, “Yang disebut ilmu adalah yang datang dari para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain itu maka bukanlah ilmu.” (Diringkas dari tulisan Ibnu Rajab Al Hambali dalam risalah “Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmi Kholaf”.)
Oleh karena itu, kita diajarkan ketika shalat Shubuh saat hendak salam membaca do’a,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
[Allahumma inni as-aluka ‘ilman naafi’a wa rizqon thoyyibaa wa ‘amalan mutaqobbalaa] “Ya Allah, aku memohon pada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyyib dan amalan yang diterima” (HR. Ibnu Majah no. 925, shahih)
فنسأل اللَه تعالى علماً نافعاً، ونعوذ به من علم لا ينفع، ومن قلب لا يخشع، ومن نفس لا تشبع، ومن دعاء لا يسمع، اللهم إنّا نعوذ بك من هؤلاء الأربع.
Kita memohon kepada Allah Ta’ala, semoga Allah menganugerahkan kita ilmu yang bermanfaat dan kita berlindung pada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah merasa puas dan dari do’a yang tidak dikabulkan. Ya Allah, kami berlindung kepadamu agar dijauhkan dari keempat hal tadi.
Ciri-ciri ilmu yang bermanfaat di dalam diri seseorang:
- Menghasilkan rasa takut dan cinta kepada Allah.
- Menjadikan hati tunduk atau khusyuk kepada Allah dan merasa hina di hadapan-Nya dan selalu bersikap tawaduk.
- Membuat jiwa selalu merasa cukup (qanaah) dengan hal-hal yang halal walaupun sedikit yang itu merupakan bagian dari dunia.
- Menumbuhkan rasa zuhud terhadap dunia.
- Senantiasa didengar doanya.
- Ilmu itu senantiasa berada di hatinya.
- Menganggap bahwa dirinya tidak memiliki sesuatu dan kedudukan.
- Menjadikannya benci akan tazkiah dan pujian.
- Selalu mengharapkan akhirat.
- Menunjukkan kepadanya agar lari dan menjauhi dunia. Yang paling menggiurkan dari dunia adalah kepemimpinan, kemasyhuran dan pujian.
- Tidak mengatakan bahwa dia itu memiliki ilmu dan tidak mengatakan bahwa orang lain itu bodoh, kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah dan ahlussunnah. Sesungguhnya dia mengatakan hal itu karena hak-hak Allah, bukan untuk kepentingan pribadinya.
- Berbaik sangka terhadap ulama-ulama salaf (terdahulu) dan berburuk sangka pada dirinya.
- Mengakui keutamaan-keutamaan orang-orang yang terdahulu di dalam ilmu dan merasa tidak bisa menyaingi martabat mereka.
- Sedikit berbicara karena takut jika terjadi kesalahan dan tidak berbicara kecuali dengan ilmu. Sesungguhnhya, sedikitnya perkataan-perkataan yang dinukil dari orang-orang yang terdahulu bukanlah karena mereka tidak mampu untuk berbicara, tetapi karena mereka memiliki sifat wara’ dan takut pada Allah Taala.
- Ilmu yang diperoleh hanya di lisan bukan di hati.
- Tidak menumbuhkan rasa takut pada Allah.
- Tidak pernah kenyang dengan dunia bahkan semakin bertambah semangat dalam mengejarnya.
- Tidak dikabulkan doanya.
- Tidak menjauhkannya dari apa-apa yang membuat Allah murka.
- Semakin menjadikannya sombong dan angkuh.
- Mencari kedudukan yang tinggi di dunia dan berlomba-lomba untuk mencapainya.
- Mencoba untuk menyaing-nyaingi para ulama dan suka berdebat dengan orang-orang bodoh.
- Tidak menerima kebenaran dan sombong terhadap orang yang mengatakan kebenaran atau berpura-pura meluruskan kesalahan karena takut orang-orang lari darinya dan menampakkan sikap kembali kepada kebenaran.
- Mengatakan orang lain bodoh, lalai dan lupa serta merasa bahwa dirinya selalu benar dengan apa-apa yang dimilikinya.
- Selalu berburuk sangka terhadap orang-orang yang terdahulu.
- Banyak bicara dan tidak bisa mengontrol kata-kata.
Semoga Bermanfaat
0 komentar:
Posting Komentar